Teori Tempat Pusat Christaller

Pendahuluan 

Dalam penentuan lokasi permukiman, dibutuhkan analisis dengan metode yang tepat agar lokasi tersebut optimal. Penentukan lokasi permukiman ini perlu memperhatikan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Aspek tersebut dapat disebut juga sebagai satuan permukiman.  Adapun syarat dari satuan permukiman antara lain adanya lokasi (lahan) dengan lingkungan dan sumber daya yang mendukung, adanya kelompok manusia (masyarakat), sumber daya buatan, dan terdapat fungsi kegiatan ekonomi sosial dan budaya.
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Bunyi teori Christaller adalah Jika persebaran penduduk dan daya belinya sama baiknya dengan bentang alam, sumber dayanya, dan fasilitas tranportasinya, semuanya sama/seragam, lalu pusat-pusat pemukiman mennyediakan layanan yang sama, menunjukkan fungsi yang serupa, dan melayani area yang sama besar, maka hal tersebut akan membentuk kesamaan jarak antara satu pusat pemukiman dengan pusat pemukiman lainnya.
 Consep Teori Christaller
  • Range (jangkauan) 
  • Jarak yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kebutuhannya. 
  • Threshold (ambang penduduk) Jumlah minimal penduduk untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa.
 Central place yang menyediakan barang dan jasa  untuk wilayah disekelilingnya membentuk sebuah hierarki. Makin tinggi tingkat barang dan jasa, makin besar range-nya dari penduduk di tempat kecil. Christaller berasumsi pada homogenitas karakter fisik dan homogenitas karakteristik penduduk. Christaller menggunakan bentuk hexagon untuk menggambarkan wilayah-wilayah yang saling bersambungan. Lingkaran yang mencerminkan wilayah yang saling bertindih lalu dibelah dua dengan garis lurus. Sehingga dapat dipilih lokasi yang paling efisien. Sehingga dengan membayangkan hexagonal-hexagonal tersebut tercipatalah hierarki pemukiman dan wilayah pasaran.
Berikut ini asumsi – asumsi Christaller dalam penyusunan teorinya :
  • Konsumen menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat dinyatakan dalam biaya dan waktu.· 
  • Jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.·  
  • Konsumen memilih tempat pusat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa.
  • Kota-kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah disekitarnya.·  
  • Wilayah tersebut adalah suatu dataran yang rata, mempunyai ciri-ciri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar secara merata.

Review
Teori tempat pusat memiliki elemen dasar yang terdiri dari : fungsi sentral, yakni adanya suatu tempat pusat yang dibentuk oleh fungsi yang besifat memusat karena  fungsi (barang/jasa) hanya ada pada beberapa titik tertentu saja. Threshold (batas ambang) adalah jumlah penduduk tertentu yang mendukung keberadaan fungsi tertentu. Fungsi dalam hal ini yaitu kelancaran dan keseimbangan suplai barang. Jumlah yang dimaksud dapat meliputi beberapa puluh keluarga bagi satu atau beberapa ratus keluarga bagi suatu pasar harian. Kalau jumlah itu di bawah jumlah tertentu/ambang, maka pelayanan menjadi mahal dan kurang efisien; sebaliknya bila meningkat di atas jumlah ambang pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Bila kegiatan itu menyangkut jual beli maka jumlah penduduk di bawah ambang akan mengakibatkan rugi dan terancam tutup; sebaliknya bila di atas ambang maka akan memperoleh untung dan mengundang entry serta dalam jangka waktu tertentu mempertajam persaingan.
Kemudian range yakni jarak di mana penduduk masih mau untuk melakukan perjalanan untuk mendapatkan pelayanan atau fungsi tertentu. Lebih jauh dari jarak ini orang akan mencari tempat lain yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhannya akan jasa yang sama. Dari elemen dasar tersebut muncullah sebuah pola, yaitu pola heksagonal. Pola heksagonal yaitu pusat-pusat membentuk segitiga pelayanan yang jika digabungkan akan membentuk pola heksagonal yang merupakan wilayah pelayanan yang dianggap optimum.

Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat, yaitu:
·         @ topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan;
·         @ kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.

Gambar: Pola berbentuk heksagonal (segienam) Christaller
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri yang menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.

Prinsip pasar (marketing principle) k=3 : pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, seperti pasar, sering disebut kasus pasar optimal. Dinamakan K=3 (K3), karena suatu kegiatan di tempat pusat akan melayani 3 tempat pusat untuk fungsi di bawahnya yaitu 1 tempat pusat sendiri di tambah 2 tempat pusat hirarki di bawahnya.
Prinsip lalu lintas (traffic principle) k=4 : bagaimana meminumkan jarak penduduk untuk mendapatkan pelayanan fungsi di tempat pusat. Bersifat linier, karena tempat pusat berada pada titik tengah dari setiap sisi heksagon. Sehingga daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas paling efisien, sering disebut situasi lalu lintas yang optimum. Teori ini disebut sebagai k=4 karena 1 empat pusat melayani empat tempat pusat lain; 1 pada tempat pusatnya itu sendiri dan 3 dari tempat pusat lain.
Prinsip administrasi (administrative principle) k=7 : wilayah ini mempengaruhi wilayahnya sendiri dan seluruh bagian wilayah – wilayah tetangganya, prinsip utamanya adanya kemudahan dalam rentang kendali pengawasan pemerintahan, sehingga sering disebut situasi administrative optimum dimana keenam pusat hirarki di bawahnya berada pada batas wilayah pelayanan hirarki di atasnya.

Kesimpulan
Teori Tempat Pusat oleh Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller menggambarkan area pusat-pusat kegiatan jasa pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah membentuk pola segi enam, yang secara teori bisa memberikan keuntungan optimal pada kegiatan tersebut. Tempat – tempat  pusat tersebut yakni sebagai suatu tempat yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi penduduk daerah  belakangnya.
Elemen – elemen tempat pusat yakni range (jangkauan), threshold, dan fungsi sentral Ketiga elemen itu yang mempengaruhi terbentuknya tempat pusat dan luasan pasar baik pelayanan barang maupun jasa pada suatu wilayah. Teori tempat pusat merupakan teori mengenai hubungan fungsional antara satu tempat pusat dan wilayah sekelilingnya. Juga merupakan dukungan penduduk mengenai fungsi tertentu. Christaller tidak mendasar pada jangkauan wilayah pasar, dan meiliki hirarki – hirarki dalam pola heksagonalnya. Luas wilayah pasar juga tidak tergantung pada barang yang diproduksi.

RIVIEW EKSISTENSI “PASAR SEMAWIS” SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI REVITALISASI KAWASAN PECINAN SEMARANG

Sebelum ada program Revitalisasi sebagai kawasan wisata budaya, kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan yang relatif tidak punya gaung, mengingat kawasan ini sudah lama ditinggalkan oleh sebagian penduduknya. Kawasan ini sering disebut orang sebagai kawasan tua (dihuni orang-orang yang berusia lanjut) aktivitas perdagangan eceran dan grosir yang relatif sepi. Secara adnimistrasi kawasan pecinan berada di kelurahan kranggan, kecamatan semarang tengah. Pendudukan kawasan ini mayoritas mata pencarian sebagai pedagang dan pengusaha.
Revitalisasi merupakan salah satu jenis pelestarian  dengan mengadaptasikan bangunan lama yang sudah tidak praktis lagi untuk  melayani penggunaan baru dan pada saat yang sama mempertahankan bentuk karakteristik orisinilnya (Budiharjo, 2004). Upaya revitalisasi kawasan lama bukan hanya sekedar usaha melestarikan bangunan, tapi juga merupakan usaha menghidupkan ekonnomi kawasan yang mengalami kemunduran (Cohen, dalam Budiharjo, 2004).
Pasar Semawis yang berada di daerah Pecinan Semarang awalnya adalah pasar malam yang diadakan beberapa hari menjelang perayaan Imlek tahun 2004. penyelenggarannya dimungkinakan karena pada saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan kebudayaan Tionghoa. pencabutan yang menandai era keterbukaan budaya ini disambut sangat antusias oleh warga Tionghoa di Semarang.
Permasalahan Umum Kawasan Urban yang perlu direvitalisasi:
·         Matinya aktivitas ekonomi yaitu adanya kondisi kawasan yang aktivitas ekonominya tidak mampu berkembang atau cenderung memberuk.
·         Menurunnya kualitas spasial dan fisik bangunan yaitu matinya aktifitas ekonomi kawasan akibat banyaknya bangunan-bangunan tua yang tidak dipergunakan atau area-area yang dibiarkan terlantar.
·         Buruknya citra kawasan yaitu suatu kawasan urban seringkali ditinggalkan dan tidak diminati oleh para pelaku ekonomi dikarenakan citranya buruk sebagai sebuah kawasan.
·         Tidak memadai infrastruktuk kawasan.
Selama ini upaya yang dilakukan lebih banyak menyoroti upaya pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata, perubahan struktur morfologi dan arsitektur bangunan. upaya revitalisasi kemudian berkembang menjadi komditas prospektif yang hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pihak tertentu khususnya pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi yang bersifat jangka pendek dan merusak kearifan local yang memunculkan banyak persoalan karena adanya perbedaan  antara harapan masyarakat dan kenyataan dalam upaya revitalisasi. Kondisi ini juga menyebabkan munculnya konflik aktifitas yang berdimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya memunculkan respon negative warga masyarakat  yang berupa penolakan warga terhadap upaya revitalisasi (Ma and Fulong, 2005).
Ada beberapa strategi pembangunan yang bisa dijadikan studi kasus dalam kesuksesan merevitalisasi suatu kawasan urban (Lu Junhua and Daniel Benjamin Abrason, 1997) antara lain:
·         Tersedianya inisiatif politik yang kuat dari pemerintah dalam mendorong percepatan proses revitalisasi.
·         Dibentuknya suatu badan pengelola kawasan yang akan direvitalisasi diaman anggotanya terdiri dari para pemangku kepentinggan.
·         Memiliki suatu strategi identitas ekonommi yang unik yang bisa bersaing dengan kawasan-kawasan urban lainnya.
·         Memiliki konsep pengembangan kawasan campuran yang terpadu.
·         Memiliki strategi pertahanan yang pragmatis.

Pemerintah kota Semarang nampaknya cukup serius dalam menata pusat lokasi wisata kuliner malam hari ini, bisa dilihat dari pemilihan pedagang yang bisa membuka stand di Pasar Semawis dan penataan tenda atau warung penjual makanan terletak di sisi sebalah kanan, deretan kursi dan meja makan letakkan di sisi sebelah kiri dengan menyisakan jalanan pengunjung ditengah-tengah.
Revitalisasi kawasan Pecinan Semarang hendaknya dibaca sebagai sebuah upaya menghidupkan kembali kawasan Pecinan yang notabene mempunyai kekhasan etnis. Upaya revitalisasi juga mempunyai tujuan menghidupkan kawasan pecitan sekaligus sebagai tujuan wisata seperti halnya yang sudah digagas di bebera Negara lain seperti Singapura, Australia, Malaysia dan sebagainya. Salah satu upaya mengisi revitalisasi kawasan Pecinan Semarang adalah dengan memberikan stimuli kegiatan yang diharapkan dapat menjadi daya tarik wisatawan, daya tarik tesebut adalah Pasar Semawis.
sumber:
Purwanto, Edi. 2010. “Eksistensi Pasar Semawis Sebagai Salah Satu Strategi Revitalisasi Kawasan Pecinan Semarang,” dalam jurnal Teknik. Vol. 31. No. 2 Oktober. hlm 90 s.d 96. Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

TEMBUS

 
TEMBUS, Komunitas Tembalang Kudus adalah sebuah komunitas yang terdiri dari mahasiswa Kudus yang kuliah di Tembalang. Terdapat dua Universitas yaitu UNIDP dan POLINES. Komunitas ini dibentuk untuk menciptakan kekeluargaan antar mahasiswa khususnya mahasiswa dari Kudus yang kuliah di Tembalang.
Semula aku tidak tau apa itu TEMBUS. Pandangan pertama terhadap Tembus masih cuek bahkan aku kurang peduli. dan bertanya "Mengapa aku harus bergabung dan apa manfaat yang akan saya peroleh???" itulah hal yang selalu ada dipikaranku sebelum bergabung dengan Komunitas ini.
Tetapi setelah aku bergabung, perlahan aku menemukan sisi positif dari komunitas ini, memang iya semua itu perlu proses. Proses tersebutlah yang membuat aku semakin bangga dengan Komunitas TEMBUS ini, di sini aku menemukan banyak hal baru yang belum aku temukan sebelumnya yang mulanya belum tau siapa saja yang bergabung di Tembus dan belum kenal, sekarang mereka menjadi keluarga baruku. 
Di TEMBUS ini aku memiliki banyak teman dan banyak sekali cerita yang begitu indah, ada yang senang bersama, susah bersama, bahkan ada "Cinlok" di TEMBUS ini. hahhahaha hari-hari semakin berwarna ketika sering berkumpul bersama, sharing bersama teman-teman...... ternyata kebersamaan itulah yang membuat aku semakin sayang dengan Komunitas ini, saling membantu sama lain, dan saling peduli dengan yang lainnya.
Komunitas ini merupakan hal yang mengasyikkan bagiku, tidak kusangka aku menjadi salah satu anggota di Komunitas ini, yang mulanya aku anggap Komunitas yang akan membuang waktu dan hanya merepotkan. Ternyata aku salah menilainya.... dan aku malah semakin tertarik dengan komunitas ini. Hari demi hari selalu ada teman yang baru, yang pastinya seru-seru dan mengasyikkan....
Komunitas ini bisa aku bilang keluarga baruku di Tembalang.
Terimakasih TEMBUS..........