Pada tahun 1826 Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan ekonomi atas dasar perbedaan sewa lahan dengan pertimbangan ekonomi .Teori Von Thunen ini pada dasarnya menitik beratkan terhadap pembagian lahan kota. Tetapi dilain pihak teori tersebut berimplikasi terhadap zona lahan dan strutur ruang kota.
Dalam artian bahwa guna lahan akan menentukan nilai lahan, melalui kompetisi antara pemakai lahan. Karenanya nilai lahan akan memdistribusikan guna lahan menurut kemampuan untuk membayar sewa lahan, sehingga akan menimbulkan pasar lahan yang kompetitif. Faktor lain yang menentukan tinggi rendahnya nilai lahan adalah jarak terhadap pusat kota(CBD). Yaitu jika semakin dekat dengan pusat kota (CBD) , maka akan semakin tinggi nilai lahan tersebut.
Dengan adanya nilai lahan maka terbentuk zona-zona pemakaian lahan, diantaranya seperti lahan untuk kegiatan komersil, lahan untuk kegiatan industri, serta lahan untuk kegiatan pemerintahan.
Dengan adanya nilai lahan maka terbentuk zona-zona pemakaian lahan, diantaranya seperti lahan untuk kegiatan komersil, lahan untuk kegiatan industri, serta lahan untuk kegiatan pemerintahan.
Selain memiliki pengaruh terhadap zona lahan, teori Von Thunen juga berpengaruh terhadap struktur keruangan kota. Perkembangan kota yang didasarkan terhadap penggunaan lahan kota memunculkan elemen-elemen baru dalam struktur keruangan kota. Salah satu contonya adalah struktur kota di Indoneia, terdapat elemen-elemen baru dari struktur keruangan yang muncul seperti zona pelabuhan, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan lain sebagainya. Munculnya elemen-elemen baru tersebut terjadi tidak lepas dari pengaruh sejarah kota atau negara tersebut.
Teori-teori tentang struktur ruang kota
1. Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
2. Teori Sektor (Homer Hoyt,1939), menyatakan bahwa perkembangan di daerah perkotaan tidak mengikuti zona-zona yang teratur secara konsentris, melainkan berupa sektor-sektor. Menurutnya, daerah-daerah industri berkembang sepanjang lembah sungai dan jalur lintasan kereta api yang menghubungkan kota tersebut dengan kota lainnnya.
3. Teori inti berganda ( Harris dan Ullman, 1945), menyatakan bahwa pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points” adalah daerah pusat kota dan central bussines district. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49).
Teori lainnya yang mendasari struktur ruang kota adalah Teori Ketinggian Bangunan; Teori Konsektoral; dan Teori Historis. Dikaitkan dengan perkembangan daerah pusat kota dan central bussines district, inti daripada teori-teori tersebut menyatakan bahwa daerah pusat kota atau central bussines district merupakan pusat segala aktivitas kota dan lokasi yang strategis untuk kegiatan perdagangan skala kota.
Dengan adanya perbedaan antara zona lahan dan struktur ruang kota mengindikasikan bahwa kegiatan tertentu hanya mampu membayar pada tingkat tertentu, harga tersebut dipengaruhi oleh letak lokasinya terhadap pusat kota. Harga tersebut pada dasarnya adalah sewa terhadap aksesibilitas atau jaringan transportasi. Selain faktor tersebut gaya hidup dan perilaku juga mempengaruhi tingkat harga tersebut.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar